Penulis: Marjeni Rokcalva
TERLEPAS dari pro-kontra Reuni Alumni Mujahid 212 di Monas pada Senin, 2 Desember 2019, apapun itu, semua ini adalah wujud dari nasionalisme para ulama dan para mujahid. Sentimen tinggi terhadap gerakan politik dan penggiringan opini paham radikalisme memang tidak bisa dibendung. Jadi, biarkan saja, karena akan timbul dan hilang dengan sendirinya, tergantung siapa dan bagaimana pengusung isu tersebut, kita semua tentu bisa menilai. Dengan harapan bahwa Reuni tersebut merupakan wujud dari bentuk kecintaan terhadap negara ini, yang tengah mengalami pelemahan ekonomi dan pelemahan kepercayaan politik beberapa tahun terakhir.
Nasionalisme para ulama dan mujahid saat ini, hanyalah bagian dari sejarah yang terulang.Kita tidak bisa pungkiri lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bagian dari sumbangsih para ulama dan mujahid.Berbagai rentetan fakta sejarah dalam gerakan dakwah Islam, dan lahirnya paham kebangsaan, hingga berujung pada gerakan perintis kemerdekaan. Siapa yang bisa membantah?Tentunya tidak ada, jadi saatnya mengurangi opini negatif terhadap para ulama dan mujahid.Bahkan, mereka (ulama dan mujahid) jauh lebih besar jiwa nasionalismenya dari kita semua.
Mengkritisi suatu kebijakan yang salah, dan merugikan bagi masyarakat di negara ini, hal tersebut merupakan bagian dari bentuk "nasionalisme" itu sendiri.Dan ketika pihak penyelenggara negara membuat kebijakan yang merugikan masyarakatnya, itu wajib dikritisi atau di tolak, tentu dengan mekanisme dan ketentuan yang ada.
Tidak hanya sekarang, era hindia belanda sendiri, para Ulama juga menentang kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan masyarakat.Bahkan mungkin lebih ekstrim, karena muncul perlawanan dan berbagai perang di daerah-daerah terhadap kolonial belanda.Ulama pada saat itu, tidak hanya menjadi "guru", namun juga menjadi "panglima perang" untuk melawan penjajahan.Apakah kita hari ini "terjajah"?Mungkin dalam perspektif tertentu "iya".
Lantas, apakah salah jika hari ini Ulama dan para mujahid bersatu dalam jiwa Nasionalisme? Tentu tidak, karena persoalan ini sudah ada sejak era 1830-an dimana hampir seluruh Ulama dan para mujahid turut berperang dengan jiwa Nasionalismenya. Jadi, jika ada opini yang menyatakan ulama dan para mujahid tidak NKRI lagi, bahkan perlu sebuah "materai" untuk menyatakan setia kepada Pancasila dan NKRI, itu adalah "peristiwa lucu" dalam catatan sejarah antara ulama dan negara. Apakah Imam Bonjol diminta Belanda untuk tanda tangan diatas "materai" untuk mengakui legalitas Hindia Belanda? Hmm.. Agaknya, pembuat opini tersebut perlu belajar sejarah tentang bagaimana negara ini lahir, atau hanya meneruskan pesanan politik dari kelompok tertentu.
Ulama Network
Khususnya warga Sumatera Barat tentu tidak asing lagi dengan Perang Paderi.Perlu kita perdalam, bahwa Paderi itu adalah sebuah Gerakan Kolektif (gerakan bersama), bukan terpusat dan bukan bertumpu pada satu orang.Yang dimaksud dalam hal ini adalah, perang padritersebut melibatkan banyak ulama dari berbagai daerah di Sumatera Barat.Para ulama tersebut berkumpul dan saling bermusyawarah untuk melakukan gerakan perlawanan ini. Urutan dari Gerakan Paderi tersebut tidak hanya berlatar belakang di sumatera barat saja, namun dilatar belakangi oleh "jaringan ulama" dari Makkah hingga ke Aceh, Mandailing, Melayu Deli, Melayu Riau hingga keseluruhan Sumatera Barat. Jaringan Ulama (network) ini tidak hanya berkomunikasi untuk urusan dakwah, namun sangat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan, ilmu perang, ilmu senjata dan ilmu pertahanan.
Jaringan Ulama ini tidak hanya di pulau Sumatera saja, namun sampai ke seluruh pulau Jawa, Makasar, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.Ulama-ulama tersebut saling berbagi informasi, saling berbagi Ilmu. Termasuk juga dalam hal pembelian senjata dan tata cara mendirikan banteng. Turki (Ustmani) adalah kerajaan yang berjasa dalam distribusi senjata untuk para ulama di Nusantara.Wajar, bila hubungan Aceh dan Turki sampai sekarang masih intens, karena kerajaan Aceh selalu mendapat suplai senjata dari Turki.Hingga ulama-ulama Aceh membantu dan memberikan informasi kepada seluruh ulama-ulama di Nusantara.
Jaringan Ulama ini tidak berhenti dalam persoalan perang dan perlawanan, tapi juga sebagai "penyumbang terbesar" dalam ilmu pengetahuan pribumi.Munculnya reformasi Islam dari pemikiran Rasyid Ridha di Kairo, hingga gerakan merambah ke Makkah, dimana banyak Ulama-Ulama dari Sumatera dan Jawa juga sedang belajar disana, mendorong lahirnya modernisasi Islam di Nusantara. Sehingga bermunculan Perguruan Islam dan Pesantren, untuk meningkatkan sumber daya manusia pribumi yang lebih intelek, dimana pada saat itu pemerintah Hindia Belanda membatasi pendidikan masyarakat pribumi.
Dengan meningkatnya kualitas SDM muslim pribumi, maka meningkat pula gagasan kebangsaan dari berbagai tokoh-tokoh daerah. Kita lihat munculnya Sarikat Dagang Islam, dan berakhir menjadi Sarikat Islam oleh Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto dan Haji Samanhudi.Walaupun pada saat itu sudah ada Boedi Oetomo, namun karena terbatas hanya elit jawa dan Madura, sehingga tidak berkembang. Gagasan kebangsaan dari para ulama ini akan bermuara pada Sumpah Pemuda 1928. Akan tetapi, dalam pendidikan sejarah saat ini, mengenal latar belakang lahirnya Sumpah Pemuda 1928,hanya terbatas pada organisasi Jong Javanese Bond, Jong Sumateranen Bond, Jong Selebes dan lainnya. Padahal sebelum organisasi perkumpulan pemuda itu lahir, gagasan kebangsaan ini sudah ada dirintis, salah satunya oleh KH Abdul Wahab Chasbullah yang mendirikan Perguruan Nahdhatul Wathan tahun 1916.Dimana perguruan Islam ini menampung pemuda-pemuda untuk menimba ilmu agama dan ilmu pengetahuan.Pemuda-pemuda tersebut dikenal dengan istilah Syubbanul Wathan, yang artinya "pemuda cinta tanah air".Kemudian menjadi embrio lahirnya Jamiyah Nahdhatul Ulama, bertepatan dengan Kongres Pertama Pemuda Indonesia pada tahun 1926.
Sedangkan di Sumatera Barat, berkat jaringan ulama ini, memunculkan gagasan untuk membetuk Sumatera Thawalib, yang arti dalam bahasa arab adalah "pelajar-pelajar sumatera" pada 1919. Sumatera Thawalib ini hasil musyawarah pemuda-pemuda muslim Minangkabau pada 15 Januari 1919 disebuah surau milik Syekh Muhammad Djamil Jambek di Bukittinggi. Tidak hanya berhenti disitu, Sumatera Thawalib mewarisi struktural dari lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang kemudian melahirkan Persatuan Muslim Indonesia pada 1930.Merupakan partai politik pertama dengan asas Nasionalisme-Islam, namun dibubarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1937. Pada masa-masa tersebut banyak bermunculan perguruan islam modern di Sumatera Barat, seperti Adabiyah, Diniyah Putri dan lainnya.
Sedikit melompat, sebagian jalan-jalan yang kita tempuh sekarang ini di Sumatera Barat, adalah bagian dari jalan perintis yang dilalui para kurir yang di utus ulama-ulama berkomunikasi.Yang terbaru adalah jalan yang menghubungkan antara Rao Mapat Tunggul (Pasaman) dengan Rokan Hulu (Riau). Jalan alternative tersebut merupakan jalan perintis yang menkoneksikan antara Tuanku Rao dengan Tuanku Tambusai di Rokan Hulu.Jalan itu juga yang menghubugkan komunikasi Tuanku Imam Bonjol dengan Tuanku Tambusai. Dari Tuanku Imam Bonjol , pertukaran informasi diteruskan ke Tuanku Nan Renceh di Kamang melalui Palupuh,dan diteruskan selanjutkan kepada ulama-ulama lainya. Ini adalah bukti koniktivitas antara para ulama, hingga bertitik pada persatuan ulama di Bukit Marapalam (Tanah Datar),yang meletakan pondasi filososi hubungan antara adat dan agama, "Adat Basandi Syarak,Syarak Basadi Kitabullah".
Jaringan Jurnalistik Ulama
Peranan Ulam juga tidak hanya sebatas gerakan kebangsaan dan perlawanan terhadap kolonial saja.Sebelum masa kotemporer dari lahirnya tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, jaringan ulama sudah lebih dahulu bersentuhan dengan dunia jurnalistik. Namun, dalam sejarah jurnalistik di Indonesia, sangat sedikit membahas kontribusi jaringan ulama ini terhadap lingkup sejarah jurnalistik di Indonesia.
Memang, pada masa kolonial semua dunia jurnalistik dikuasai oleh pemerintah hindia belanda, karena teknologi eropa yang dipegangnya.Sebelum masuk ke dunia jurnalisitik, ulama-ulama sudah terlebih dahulu menjadi "kuli tinta", lewat berbagi buku dan karya sastra. Sentuhanjurnalistik non-eropa pada ulama adalah Al-Manar (1898), yang terbit di Kairo (Mesir). Semua ulama-ulama besar di Nusantara kala itu menjadi pelanggan utama majalah ini.Al-Manar dipimpin oleh Rasyid Ridha yang merupakan pelopor dari pembaharuan Islam.Dan diikuti dengan Al-Iman yang terbit di Singapura pada 1906.Kita sebut saja KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ashari, Abdul Karim Amarullah, HOS. Cokro Aminoto, Agus Salim dan lainnya, adalah pelanggan sekaligus pembaca kedua majalah tersebut.
Majalah Al-Manar dan Al-Iman menginspirasi lahirnya majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911, oleh perkumpulan Syarikat Ilmu,seperti Abdul Karim Amarullah (Ayah Hamka), Sutan Muhammad Salim (Ayah Agus Salim), yang walapun dengan tulisan arab melayu, namun jaringan ulama ini dapat berbagi informasi dengan ulama lain. Setelah kehadiranAl-Munir, segera muncul majalah-majalah dengan semangat yang sama di kawasan Minangkabau , sepertiAl-Akhbar yang berbasis Padang. Jaringan Sumatra Thawalib di berbagai daerah menerbitkan majalah yang diedarkan terbatas, seperti Al-Bayan di Parabek ,Al-Basyirdi Sungayang ,Al-Ittiqandi Maninjau , Pada tahun 1916, Ketua Sarekat Islam HOS. Tjokroaminoto untuk mendirikan majalah Al-Islamdi Surabaya .Majalah ini menandai dimulainya penerimaan kaum Muslim Nusantara terhadap penggunaan huruf Latin, selain tetap menggunakan huruf Jawi.. Nahdhatul Ulama juga mengeluarkan Majalah Swara Nahdathul Ulama pada tahun 1928.Dan Kemudian berubah mejadi Berita Nahdatul Ulama pada 1928.
Tahap demi tahap dampak jaringan ulama ini, memberikan peran positif terhadap perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia, tentunya dengan tujuan sarana informasi dan sarana perjuangan melawan kolonial. Namun, kontribusi ulama terhadap sejarah jurnalisitik di Indonesia seolah-olah "dipudarkan", dan sejarah Indonesia lebih mengedepankan aspek kaum nasionalis seperti hadirnya majalah Medan Prijaji tahun 1907 sebagai momentum awal lahirnya jurnalistik pribumi di Indonesia.
Nasionalisme, Ulama dan Merdeka
Nah, jika kita melihat lebih ke dalam , begitu banyak kaitan antara jaringan ulama dengan munculnya gagasan "persatuan dan kebangsaan" hingga terwujud dalam Sumpah Pemuda (1928). Mulai 1820-an hingga 1945 tak terlepas dari peran penting hubungan komunikasi antara para ulama di seluruh nusantara.Jaringan ulama ini dapat juga disebut "Jaringan Nasionalisme Ulama", mereka sealing berbagi cerita, berbagi ilmu, hingga terakomodir melalui tulisan lewat karya-karya jurnalistik. Sehingga mendorong generasi penerus ulama melanjutkan serta menularkan apa yang telah dirintis sebelumnya.
Jadi, Reuni 212 bersama para Ulama dan para Mujahid adalah bagian dari jaringan ulama saat ini, ulama-ulama turun gunung dalam persoalan negara kita.Pemerintah harusnya melihat ini sebagai bentuk "kekhawatiran" terhadap kondisi bangsa kita.Kepastian ekonomi, kepastian hukum, kepastian kedaulatan, adalah kekhawatiran yang "tidak pasti" yang disuguhkan pemerintah sekarang ini.Kalu kita bicara "NKRI Harga Mati", kata-kata ini sudah ada sejak 1926-an oleh seluruh Ulama dan para mujahid pada saat itu.
Sudahlah, apakah reaksi Ulama dan Mujahid berlebihan dalam konstestasi politik?Ini tidak-lah berlebihan, ini adalah keharusan dan kewajiban yang harus ditunaikan. Rasa Nasionalisme para Ulama dan Mujahid tersebut tidak akan luntur sejak dulunya. Kita harus jujur, Nasionalisme Ulama dan Mujahid menjadi tonggak dasar dalam kata-kata "Merdeka", hal itu tidak bisa dibantah.Kata dan teriakan "Merdeka dan Allahu Akbar", adalah kelompokkata yang tak terpisahkan selama perjuangan kemerdakaan, tentu tanpa mengecilkan perjuangan dari agama minoritas.Pastinya, tidak ada kontribusi kaum sekuler dan kaum liberal dalam perjuangan kemerdekaan, bahkan sampai lahirnya negara ini. Dasar pertanyaannya sama, "tidak mungkin ulama-ulama turun kejalan, jika negara ini baik-baik saja". (***)
Penulis: Wakil Ketua DPD PAN Bukittinggi
Komentar