Penulis: R/BM | Editor: Marjeni Rokcalva
PADANG - Kegiatan dilaksanakan via zoom yang difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan Sumbar dan diikuti sampai akhir oleh 43 orang peserta dari berbagai latar baik itu sastrawan, budayawan, dosen, dan pegiat literasi yang berasal dari berbagai daerah baik dalam Sumatera Barat maupun luar Sumbar seperti Riau, Bengkulu, Jakarta, dan Bandung.
Kegiatan ini digagas oleh Satu Pena Sumbar. Dalam kata pengantar/sambutan, Sastry Bakry selaku Ketua DPD Satu Pena Sumbar menyampaikan bahwa kegiatan ini bagian dari pra-IMLF yang akan dihelat 22 s.d. 27 Februari 2022 mendatang dan akan diikuti oleh peserta dalam negeri maupun luar negeri.
Acara dibuka secara resmi oleh Drs. H. Syaifullah, M.M. selaku Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar yang turut mendukung kegiatan-kegiatan menuju IMLF.
Bincang buku dimoderatori oleh Yurnaldi (sastrawan & wartawan utama) dengan dua orang pembincang yaitu Dr. Free Hearty, M.Hum. (pengamat sastra & budaya) serta Narudin Pituin (sastrawan, penerjemah, kritikus).
Bundo Free menyebutkan bahwa semula kecewa mengapa Isa sebagai penyair yang dikenalnya punya wawasan luas ikut-ikutan bicara tentang kopi dan cinta lewat karyanya. Bundo Free juga menyoroti bahwa semua puisi dalam buku tersebut setiap judulnya diawali dengan 'Syair Cinta'. Namun, setelah membacanya, baru muncul rasa takjub dan kagumnya.
Bundo Free menganggap ini karya unik karena Isa selaku penyairnya yang berlatar belakang seorang sosiolog melihat permasalahan-permasalahan di negeri ini bukan dari sudut pandangnya sebagai penyair melainkan PoV orang ketiga. Hal-hal negatif yang diamati oleh orang lain dilihat dengan cinta oleh Isa. Isa tidak bicara cinta yang dia rasakan, tetapi pijakannya justru orang lain sehingga terasa bahwa penyair sedang memberi simpati dan empati yang memunculkan toleransi, tetapi toleransi yang kritis. Di sanalah bertambah keunikan karya ini meskipun dalam kacamata Bundo Free, kelemahan karya ini ada pada ketidakpaduannya, maka Bundo Free menyingungg soal unity, koherensi, dan kohesi suatu karya.
Sedangkan Narudin Pituin fokus membahas empat puisi yang dinilainya representatif dan menjadi benang merah untuk menangkap makna yang ingin disampaikan penyair. Keempat puisi tersebut yaitu! _Syair Cinta Tanpa Kopi_, _Syair Cinta Tukang Tiket_, _Syair Cinta Playboy Kacangan_, dan _Syair Cinta Politikus Korup_. Baginya sang penyair menyajikan puisi yang membungkus informasi dengan metafora dan personifikasi sehingga rumit ditangkap pembaca karena metafora dan personifikasinya terkesan bertumpuk. Namun, puisi-puisi ini turut menunjukkan bahwa penyairnya ialah seorang pemikir. Ada kekentalkan nilai sosiokultural & politik di dalamnya.
Mohammad Isa Gautama selaku penyairnya turut memberikan sepatah dua patah kata berupa ucapan terima kasih karena karyanya diapresiasi oleh Satu Pena Sumbar sehingga dibincangkan. Isa menyebutkan bahwa tujuannya menulis karya ini untuk mengkritik sekaligus memparodikan realita sosial. Namun, ia sajikan dengan cara lebih santai melihat permasalahan yang kompleks tersebut.
Dalam bincang buku turut berpartisapasi beberapa penanggap yang memberi apresiasi terhadap _Syair Cinta Tanpa Kopi_ maupun yang bertanya. Penanggap tersebut yaitu Prof. Deddy Mulyana, Chye Retty Isnendes, Hermawan, Nandik Sufaryono, dan Prof. Harris Effendi T.
Acara yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB tersebut ditutup pukul 12.30 WIB. Kegiatan ini diharapkan terus berlanjut untuk menghangatkan suasana menuju IMLF 2023. (R/BM)
Komentar