Penulis: Afrizal | Editor: Marjeni Rokcalva
MOECHAMMAD (Muhammad, red) Zen atau juga dikenal dengan M Zein adalah salah satu tokoh penting dalam dunia medis di Pesisir Selatan sebelum era kemerdekaan. Bagaimana tidak, ia tercatat sebagai orang Pesisir Selatan pertama yang berprofesi sebagai dokter.
Semasa hidup, M Zen terlibat aktif dalam mengobati masyarakat yang terkena wabah kala itu. Selain itu, ia juga gencar mensosialisasikan hidup sehat bagi masyarakat.
Atas jasanya semasa hidup, namanya pun diabadikan menjadi nama rumah sakit milik pemerintah setempat. Kita mengenalnya dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr M Zein.
Lantas, siapa itu Moechammad Zen? Kenapa namanya dijadikan nama rumah sakit terbesar di Pesisir Selatan? Untuk mengetahui jawabannya, baca artikel ini hingga usai.
M Zen lahir dengan nama Moechammad Zen. Ayahnya bernama Angko Palo Gaibun atau juga dikenal dengan Tuanku Jibun dan ibunya bernama Siti Djoenah.
Ia lahir di Tarusan pada 126 tahun yang lalu. Dari batu nisannya, tanggal kelahiran M Zen tertulis antara tanggal 28 April dan 29 April 1896.
Mencius Zen selaku cucu M Zen menyampaikan, ayah dari M Zen yang bernama Tuanku Jibun tidak ada hubungan dengan tokoh Bujang Jibun yang merupakan sebuah legenda di Surantih.
Hal itu diketahuinya dari adiknya, Mahavira Zen. Mahavira menyebutkan, kepada Mencius bahwa sewaktu ia masih bersekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD) melihat Si Jibun di belakang rumahnya yang berlokasi di Jalan Kampung Jawa, Painan.
Kejadian itu disampaikan kepada ayahnya Mohammad Zaini Zen yang saat itu menjabat sebagai Bupati Pesisir Selatan. Mendengar hal tersebut, Zaini Zen pun langsung marah. Sebab, kakeknya itu bernama Tuanku Jibun bukan Si Jibun.
Sementara ibunda dari M Zen, Siti Djoenah adalah seorang perempuan yang berasal dari kaum Caniago di Tarusan. Asal usul suku Caniago ini terdapat pada ranjinya dan ada kesamaan dengan ranji induk di Pagaruyung dan yang di Guguk Solok.
Penghulu (pemangku gelar adat) suku Caniago Tarusan, Andi Datuak Rajo Magek mengatakan, M Zen bersaudara sebanyak delapan orang. Dari kedelapan orang tersebut, lebih banyak anak perempuan daripada laki-laki.
Ada keunikan dalam pemberian nama M Zen dan saudaranya. Nama anak perempuan didahului dengan Siti dan laki-laki didahului dengan Muhammad (ditulis Moehammad, terkadang juga Moechammad).
Andi saat ditanyai tentang kedelapan nama saudara M Zen, ia hanya ingat padaa 6 nama. Yaitu: Muhammad Syarif, Muhammad Moechtar, Siti Kamsiah dan Siti Hafisah, Siti Sjafiyah dan Muhammad Khair.
Moechammad Zen secara adat Minangkabau "di-gadang-kan" (didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) dan "di-basa-kan" (dibesarkan) menjadi datuak (dt) penghulu.
Ia diangkat dengan sakato (kesepakatan) kaumnya suku Caniago dengan gelar pusaka sukunya yang asal usulnya dari Guguk Solok itu, yakni Datuk Bagindo Tan Basa.
Akan tetapi, kata kata Andi Dt Rajo Magek, gelar induk pusako Caniago Tarusan Datuk Bagindo Tan Basa yang berasal usul dari Guguk Solok itu sudah terlipat lama.
Pendidikan
Moechammad Zen atau juga disebut M Zein adalah orang Pesisir Selatan, Sumatera Barat pertama yang berprofesi sebagai dokter. Selain sebagai dokter, ia juga panghulu di suku Caniago Tarusan dengan gelar Datuak Bagindo Tan Basa.
Ia menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA. STOVIA adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dikutip dari Dr Yulizal Yunus dalam tulisannya memaparkan, meski ia dokter tamatan STOVIA yang bergengsi, ia rela mengabdi mengawal kesehatan masyarakat desa. Hal itu sudah ia lakukan sejak dari Bangko, Sawahlunto sampai di Painan, Pesisir Selatan.
Ketika di Painan, dr M Zen senang melakukan pengobatan masyarakat nagari dari rumah ke rumah. Ketika itu, banyak masyarakat terkena penyakit seperti asma, TBC, malaria dan penyakit lainnya. Ia di samping melakukan pengobatan, sekaligus senang mendidik masyarakat agar senantiasa hidup sehat.
Renaldo Jahja selaku cucu M Zen menyampaikan, setelah tamat bersekolah di STOVIA, dr Moechammad Zen ditugaskan menjadi dokter di Rumah Sakit Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi. Setelah itu lalu di tugaskan di Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto, Sumatera Barat.
Moechammad Zen menikah dengan gadis minang bersuku melayu bernama Siti Darsiah. Siti Darsiah sendiri merupakan anak dari pasangan Ibrahim Amar dan Sariamin yang berasal dari Tambang Salido Kecil yang kemudian keturunannya besar di Painan. Siti Darsiah punya saudara bungsu bernama Prof Dr Darwis (tamatan UI, namanya diabadikan pada nama jalan Darwis di Painan).
Ibrahim Amar, kata Renaldo, merupakan jaksa pertama di Pesisir Selatan sekaligus tuan tanah kala itu.
Dari pernikahan itu, mereka di karuniai tujuh orang anak. Enam laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama hingga anak keempat lahir di Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Anak ke lima sampai ke tujuh lahir di Sawahlunto.
Seperti nama M Zen yang beradik kakak dinamai laki-laki dengan Moechammad dan perempuan didahului dengan Siti, anak-anak M Zen pun juga begitu.
Ke 6 Putra dan 1 Putri M Zen dan Siti Darsiah yaitu:
1. Moechammad Zairoel Zen (Prajurit TNI dengan pangkat Brigjen dan merupakan orang kepercayaan Jenderal Besar AH Nasution)
2. Moechammad Zaghloel Zen (Prajurit TNI)
3. Moechammad Zaini Zen (Prajurit TNI dan Mantan Bupati Pessel)
4. Siti Dermatasiah Zen (Ibu Renaldo Jahja)
5. Moechammad Zaenal Zen
6. Moechammad Zoelkifli Zen
7. Moechammad Zoelichram Zen (Tentara pelajar yang gugur ketika Bukittinggi terbakar, namanya nomor dua pada Prasasti Tentara Pelajar di Bukittingi)
Mohammad Zen meninggal dunia di usia yang relatif masih muda, yakni di usia 36 tahun. Tepatnya tanggal 20 November 1931.
Saat itu terjadi kecelakaan kerja di Pertambangan Ombilin Sawahlunto. Dan akibat itu, terdapat korban yang harus membutuhkan bantuan medis.
Karena peralatan medis yang tidak memadai di Sawahlunto, maka korban terpaksa dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di Padang dengan Mobil.
Saat itu Mohammad Zen duduk di bangku belakang. Pada masa itu pelintasan kereta api tidak ada penjaga, jika ingin melintas diatas rel kereta api, maka supir mobil harus hati-hati.
Karena keadaan yang darurat maka supir langsung melintas dan tidak memperhatikan bahwa ada kereta api yg akan melintas. Ketika melintas rel, tiba-tiba mobil yang ditumpangi oleh Mohammad Zen mogok dan ditabrak oleh Kereta Api.
Saat itu Mohammad Zen tertidur di bangku belakang akan tetapi sang supir masih bisa menyelamatkan diri.
M Zen dimakamkan di dekat dengan bekas (artefak) Rumah Gadang Suku Caniago Tarusan. Makam tersebut berada di Jalan Bariang, tak jauh dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Tarusan.
Sumber: pesselkab.go.id
(Afrizal)
Komentar