Penulis: R/Jen | Editor: Marjeni Rokcalva
PADANG - Saat ini, DPRD Provinsi Sumbar sedang menyusun Ranperda Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Barat. Saat ini, telah ada naskah akademis dan draft ranperda tanah ulayat. 11 Januari 2023 lalu, DPRD Provinsi Sumbar melakukan seminar konsultasi publik dengan mengundang stakeholders terkait. Kemudian pada 13 Januari 2023, masyarakat sipil Sumatera Barat mendiskusikan draft Ranperda Tanah Ulayat. Kondisi tanah ulayat di Sumatera Barat sudah sangat mengkhawatirkan dan miris.
Tanah ulayat digempur habis-habisan oleh investasi dan kebijakan negara sehingga semakin meminggirkan masyarakat adat Minangkabau. Sudahlah di rampas masih juga dituding sebagai penghambat investasi. Padahal keengganan pemerintah mengakomodir keberadaan tanah ulayatlah yang bala dan bencana bagi semua pihak. Memicu konflik dimana-mana antara masyarakat dengan perusahaan. Mestinya keberadaan Ranperda Tanah Ulayat berorientasi pada pemulihan dan perlindungan tanah ulayat di tanah Minangkabau.
Terdapat sembilan catatan penting didalam Ranperda Tanah Ulayat sebagai berikut :
1.Didalam draft Ranperda Tanah Ulayat, kedudukan tanah ulayat sebagai tanah cadangan mesti di konstruksi ulang. Dalam kenyataannya banyak tanah ulayat sebagai sumber daya yang digunakan ataupun yang tidak digunakan. Sehingga tidak sesuai dengan realitanya yang ada.
2.Didalam Ranperda, pemanfaatan tanah ulayat bagi investasi ada dua yakni saham dan bagi hasil. Untuk menjaga keberlanjutan dan perlindungan perlu dibatasi jual beli saham dipasar modal. Mestinya saham tetap sama dan semakin meningkat bukan menurun.
3.Ranperda belum mengakomodir tanah ulayat di Mentawai mestinya itu juga diakomodir karena Mentawai juga memiliki tanah ulayat. Ranperda jangan berlaku diskrimiatif terhadap Mentawai karena bagian dari Sumatera Barat.
4.Identifikasi tanah ulayat oleh pemegang izin tanpa ada sanksi yang jelas dan peran serta pemerintah daerah. Padahal ini menjadi titik sentral untuk inventaris tanah ulayat yang saat ini dikuasai oleh pihak-pihak diluar masyarakat adat.
5.Pemulihan tanah ulayat yang berada di kawasan hutan belum diakomodir didalam Ranperda ini. Saat ini yang ada mekanisme hutan adat yang tersedia. Mestinya ruang ini ditangkap untuk pemulihan hak ulayat dalam kawasan hutan. Jika memang kita ingin melindungi tanah ulayat maka Ranperda mesti mendorong kabupaten/kota untuk membuat kabupaten/kota untuk mensahkan perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Mentawai.
6.Didalam Ranperda tidak mengakomodir keberadaan dan peran bundo kandung terhadap tanah ulayat. Padahal di Minangkabau menganut Matrilineal System dan kelompok perempuan dan anak perempuan yang peling menderita ketika ulayat sudah tergadai ataupun dialihkan kepada pihak lain. Penguatan paradigma inklusif mesti diperkuat didalam Ranperda termasuk perlindungan perempuan, anak dan disabilitas dalam pemanfaatan tanah ulayat;
7.Didalam ranperda belum memperkuat mekanisme FPIC (Free Prior Informed Consent) dalam pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat. Prinsip ini seringkali dilanggar oleh berbagai pihak sehingga memunculkan konflik struktural di akar rumput.
8.Didalam Ranperda ada kata dikuasai dan dimiliki. Makna menguasai dan dimiliki dua hal yang berbeda. Kepemilikan tanah ulayat adalah bersama-sama (Komunal) sehingga esti menghindari pemaknaan kepemilikan ulayat pada jabata tertentu karena bisa melegitimasi penjualan dan pengadaian tanah ulayat sepihak yang di kooptasi jabatan tertentu seperti mamak.
Ranperda masih inkosistensi terkait penyelesaian tanah ulayat. Didalam PErda Nomor 7 Tahun 2018 penyelesaian sengketa tanah ulayat ada di Pengadilan Adat namun di Ranperda ini diselesaikan oleh KAN. Belum ditemukan formulasi yang baik dalam situasi ini dengan memperhatikan kondisi sosiologis dan memperhatikan konflik kepentingan para pihak. (R/Jen)
Komentar