Penulis: YN | Editor: Medio Agusta
Padang Pariaman - Ratusan warga pemohon sertipikat tanah di Nagari Sikucur Barat, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman melalui program TORA dari BPN Padang Pariaman, diduga diwarnai pratik pungutan liar hingga jutaan rupiah.
Diketahui, program sertifikat tanah gratis atau yang disebut program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ini merupakan program unggulan Presiden Joko Widodo. Program ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk mengurus status lahan yang selama ini belum bersertipikat hak milik. Ironisnya, di dalam kepengurusan sertifikasi lahan oleh warga di daerah itu dicederai dugaan praktik pungutan liar. Dugaan itu diperkuat dengan sejumlah masyarakat setempat bercerita kepada wartawan.
Pungli merupakan salah satu gejala sosial yang bersifat abadi, sehingga selalu hadir di tengah kehidupan masyarakat. Pungli juga menjadi salah satu faktor yang menghambat kepercayaan masyarakat terhadap kebijak dari birokrasi pemerintahan.
Pada Rabu (5/4) hingga Kamis (6/4) beberpa hari lalu, wartawanmenemui beberapa warga di Korong Alahan Tabek, Korong Koto Panjang, dan Korong Toboh Marunggi meminta mereka bercerita bagaimana dugaan pratik pungli itu berlangsung. Warga yang ditemui mengutarakan hal yang sama, yakni untuk mendapatkan sertpfikat TORA harus mengeluarkan uang sekitar Rp1 juta hingga Rp2 juta.
Salah seorang tokoh masyarakat di daerah itu Tuangku Masri Chan menyebutkan, warga pemohon program Tora telah diminta uang sejumlah Rp 500 -- 1.000.000 ribu rupiah oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab di daerah itu.
Bahkan, peran niniak amamak yang tergabung di Lembaga Kerapat Adat Nagari (KAN) tidak dilibatkan dalam program Tora yang akan di serahkan kepada warga setempat.
"Kami sebagai Niniak Mamak di Kaum kami, dan Niniak Mamak yang terhimpun di KAN, tidak diikut sertakan dalam permasalahan ini," sebut Tuang masri Chan, Selasa (11/4) di ruang kerjanya di BAZNAS Padang Pariaman.
Selain itu, sebut dia, tanah yang telah disepakati oleh Ninik Mamak yang diserahkan kepada nagari, untuk pembangunan kantor Sektetariat Walinagari (Kantor Walinagari) di sertifikatkan melalui program Tora atas nama pribadi.
"Kami sanak kemenakan, dan selaku Ninik Mamak di daerah itu, menyerahkan sebidang tanah dengan luas 1.300 meter kepada Nagari setempat untuk di bangun kantor Walinagari, setelah saya chek dari daftar pemohon program Tora, tanah yang kami berikan 1.300 meter itu berobah menjadi hak milik pribadi di dalam permohonan program Tora," tegas Tuangku Masri Chan.
Hal senada juga disampaikan beberapa pemuka masyarakat di korong Alahan tabek, Korong Koto Panjang, Korong Toboh Marunggai, dan Korong Koto Padang, warga pemohon program Tora di korong itu, untuk penerbitan sertifikat Tora dikenakan biaya administrasi.
Biaya pengurusan sertifikat itu bervasriasi yakni Rp 500 - 1 juta rupiah. Suka atau tidak suka, warga harus mengeluarkan uang dari kantongnya sebesar 500 -- 1 juta rupiah untuk mendapatkan sertipikat Tora.
Sebut saja Salmi, salah satu warga yang dipercaya di kaumnya dalam pengurusan penerbitan sertipikat tanah itu mengakui bahwa dirinya memungut biaya administrasi kepada kaumnya sebagai pemohon program TORA sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta dengan status tanah pemohon alas hak.
Uang sebanyak itu digunakan untuk membantu menjalankan roda administrasi program TORA. Mulai dari sosialisasi, pemberkasan, pengukuran, hingga distribusi sertipikat tanah. Namun, ia mengakui, tidak memiliki rincian alokasi pungutan yang terencana.
Dalam aturan resmi yang ia ketahui, untuk pemohon mendapatkan program TORA ini yaitu mengeluarkan uang administrasi sebesar Rp250 ribu, itupun tidak sesuai di lapangan. Belum lagi beli materai sebanyak 5 lembar, dan uang makan minum petugas pengukuran.
"Saya tidak pernah mau membebankan. Karena kalau kami membebankan, kami salah. Kami hanya mengajak paling tidak bantu kami," sebut Salmi.
Terkait adanya dugaan pungutan di lapangan, warga pemohon program sertipikat tanah TORA yang dikenakan biaya sebesar Rp1 juta hingga Rp2 juta itu adalah kaum dari ninik mamak di daerah itu dalam pelepasan hak tanah ulayat kepada warga. Bentuk pungutan itu, berdasarkan dengan harga emas, dan itu pun bukan kewenangannya.
Dirinya mengakui, sebanyak 151 pemohon yang ia lakukan mengajukan permohonan program TORA ke pihak BPN Padang Pariaman itu masih banyak yang harus dilengkapi secara administrasi.
Sementara Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sikucur Barat Junaidi Datuak Rangkayo Basa menyebutkan, keterlibatan KAN dalam penerbitan sertifkat Tora tidak pernah diajak bermusywarah dan mufakat, baik secara yuridis formal maupun secara empiris.
Kewenangan KAN di nagari yang telah ditetapkan Perda Provinsi Sumbar nomor 7 tahun 2018 tentang nagari mengatur bahwa sengketa yang timbul dari sako, pusako dan perdata adat lainya adalah tanggung jawab KAN untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara damai. Artinya. KAN didalam permasalahan tersebut tidak pernah di ajak duduk semeja baik dari pemerintah nagari maupun BPN di daerah itu.
Ia menyebutkan, warga pemohonan program Tora yang mengajukan kepihak BPN, baik yang dilakukan sendiri -- sendiri maupun berkelompok dan bernagari, Lembaga KAN tidak pernah dilibatkan. Artinya, masalah tanah ulayat di nagari seharusnya pemerintah nagari dan BPN berkolaborsi dalam permasalahan tersebut, agar terciptanya situasi yang kondusif.
"Seharusnya setiap permasalahan tanah ulayat harus melalui Niniak Mamak yang tergabung dalam Wadah Lembaga KAN. Sertifikat tanah yang berstatus dari tanah ulayat harus diketahui atau mendapat persetujuan dari Niniak Mamak dan Ketua KAN, " sebut Rangkayo Basa.
Terkait adanya dugaan pungutan di lapangan yang mengatas nama lembaga KAN, dirinya menyatakan pihak KAN tidak pernah melahirkan kebijakan yang dibebankan kepada warga atas sertipikat Tora tersebut. Artinya, pihak KAN tidak pernah melakukan dan menerima dari dugaan pungutan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Sampai saat ini kami yang tergabung di lembaga KAN tidak pernah membuat keputusan terkait dengan pungutan, dan tidak menerima satu persen pun," sebut dia.
Wali Nagari Sikucur Barat, Rapi'i menyebutkan, proses pembuatan sertifikat TORA itu sejak tahun 2021. Hingga kini di tahun 2023, masyarakat dan pihak nagari masih menunggu penjadwalan pembagian sertipikat kepada warga dari BPN Padang Pariaman.
"Kami di Nagari Sikucua Barat, masih menunggu penjadwalan yang ditetapkan BPN Padang Pariaman dalam pemberian sertifkat tersebut. Sertipikat TOA sudah selesai, hanya menunggu waktu dari pihak BPN Padang Pariaman," sebut Rapi'i ketika dikonfirmasi, Rabu (5/4).
Ia menyebutkan, persoalan di lapangan tidak menjadi masalah bagi pihaknya di pemerintah nagari, sepanjang program sertipikat TORA telah diserahkan kepada masing-masing warga. Menurutnya, apa yang menjadi keinginan warga untuk medapatkan sertipikat telah terwujud.
"Sertipikat TORA itu sudah selesai, dan kami dari nagari berkeinginan secepatnya terwujud penyerahaan sertipikat TORA kepada warga. Kita masih menunggu penjadwalan penyerahan sertipikat dari pihak BPN Padang Pariaman," sebut dia.
Ketika ditanya terkait adanya dugaan pungutan di lapangan, dirinya menyatakan pihak pemerintah nagari tidak pernah melabelkan harga dalam pengurusan sertipikat tersebut kepada warga pemohon.
"Kami tidak berani memberikan label atau tarif kepada warga untuk kepengurusan sertipikat tanah melalui program TORA itu, meskipun dari pihak BPN pernah berdiskusi untuk administrasi dibebankan kepada warga pemohon sekitar Rp500 ribu. Itu pun saya tidak mau mengambil kebijakan tersebut," sebut dia.
Adanya isu pungutan pungutan lainya di lapangan, itupun tidak diketahui. Namun, ada beberapa dari kaum atau suku yang mengurus secara langsung ke BPN sebanyak 151 warga pemohon.
Menanggapi hal tersebut Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Padang Pariaman Alim Bastian menyebutkan, pihaknya pada saat melakukan sosialisasi ke pada masyarakat pemohon program Tora, bahwa penerbitan sertifikat Tora adalah 0 rupiah, alias gratis.
"Paling paling biaya yang dikeluarkan warga pemohonan biaya admistrasi ditingkat nagari. Di pihak pemerintah terendah nagari, seperti KAN dan Kepala Kaum dan lembaga lainya, walaupun ada biaya tambahan yang dilakukan di Nagari, seharus dimusyawarah kan dulu di tingkat nagari, dan di Koordinasika ke BPN" sebut Kakan BPN Alim Bastian diruang kerjanya.
Artinya, setiap kebijakan yang akan dilahirkan oleh pemerintah nagari, seharusnya di koordinasikan dengan BPN, agar kebijakan tersebut mempunyai alasan dan dasar hukum yang kuat.
Selain itu, Dirinya setiap kegiatan rapat-rapat bersama jajaran di BPN sering meingatkan kepada kawan-kawan tidak dibenarkan adanya pungutan liar dilapangan.
"Jadi kalau ada penambahan biaya dilapangan, dasarnya adalah musyawarah. Bukan tidak ad adasar. Kemudian yang terpenting lagi adalah, bagaimana dirinya meingatkan kawan-kawan dan jajaran di BPN dilarang melakukan pungutan di lapangan," sebut dia.
Ia menyebutkan, untuk menghindari terjadi resiko pelanggaran hukum seperti pungutan liar yang dilakukan oleh BPN dilapangan, dirinya melahirkan suatu terobosan baru untuk kebaikan dan kemajuan BPN.
"Jadi terobosan baru yang saya lakukan itu adalah memberikan uang muka kerja kepada petugas dilapangan, dengan uang muka keraj ini jelas, dan setidaknya mereka tidak akan berpikir lagi mengeluarkan uang dari kantong pribadi mereka. Selama ini yang terjadi bagi petugas dilapangan tidak mendapatkan uang muka kerja, sehingga mereka memulai pekerjaan itu dari kantong pribadinya," tutup dia.
Pungli adalah salah satu tindakan melawan hukum yang diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun1999 junto. Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pungutan liar adalah termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa yang harus diberantas.(YN)
Komentar