Penulis: Humas Darul Ulum | Editor: Marjeni Rokcalva
PAGI sekitar pukul 06.00, setiap hari Kamis, anak siak (santri), Surau Baru, kini disebut santri Pondok Pesantren Darul Ulum Padang Magek, Tanah Datar, Sumbar, sibuk keluar menuju nagari-nagari tertentu untuk minta sedekah atau disebut juga mamakiah.
Daerah yang mereka kunjungi berkisar di Kabupaten Tanah Datar, paling jauh ke Kota Padang Panjang, Kecamatan Baso, Agam dan ke Sumani Kecamatan X Koto Singkarak, Kab. Solok.
Santri ini hanya membawa bekal, sebuah karung kosong berwarna putih. Itulah yang namakan buntia. Buntia ini dibuka di halaman rumah penduduk, pada nagari yang sudah direncanakan semula.
Dengan mengucapkan kalimat assallamualaikum Wr.Wb, mulut buntia dibuka. Selanjutnya sambil menjawab salam, si tuan rumah langsung mengetahui, bahwa yang datang itu adalah santri dari Padang Magek.
Biasanya tuan rumah menyuruh santri naik ke rumah, melafalkan doa untuk arwah orang tua-tua dan keselamatan keluarga. Jika tidak, dia langsung memberikan segelas beras kepada santri yang berdiri di halaman.
Beras langsung dituangkan ke dalam buntia. Kemudian si santri pun mengucapkan terimakasih dan dia akan menuju rumah lain, untuk berbuat hal yang sama.
Setelah seharian berjalan dari rumah ke rumah, dari desa ke desa (nagari ke nagari), buntia yang disandang pun akhirnya penuh. Isinya berkisar 10 sampai 20 liter beras. Kemudian santripun memutuskan pulang ke pondok, di sore hari menjelang senja.
Hasil mamakiah itulah, yang dijadikan bekal oleh santri pondok pesantren Darul Ulum Padang Magek, selama seminggu untuk makan. Sebagian bisa dijual dijadikan uang belanja.
"Begitulah siklus kehidupan mamakaih, yang dipraktekkan anak siak Surau Baru, sejak pengajian di surau ini dimulai tahun 1942, di bawah asuhan Almarhum Tuanku S.Malin Kuning," kata H Ampera Salim salah seorang pengurus pesantren ini.
Sejauh ini katanya, nama anak siak, atau disebut santri darul ulum, belum pernah cacat di luar. Malah banyak masyarakat nagari tetangga, yang memujikan ke hadiran anak santri mamakaiah, setiap hari Kamis itu.
Sebab, tidak sulit menunggu orang untuk melafalkan doa keluarga, bagi kalangan ibu ibu, yang telah menetap di kampung.
Santri Ponpes Darul Ulum melakukan mamakiah, hanyalah yang laki-laki saja. Kini jumlah santri sekitar 350 orang dan sekitar 200 orang laki-laki. Mereka yang melakukan mamakiah ini, sudah diatur dari pondok kemana mereka melakukan perjalanan.
Biasanya, santri senior sudah membagi jadwal perjalanan yunior mereka untuk 75 nagari di Kabupaten Tanah Datar, plus nagari-nagari yang ada di kabupaten tetangga.
"Pengaturan ini penting, supaya tidak terjadi tumpang tindih dan supaya tidak terlihat berbondong-bondong menuju nagari tertentu. Tapi, kalau untuk satu nagari dijalani oleh dua atau tiga orang, itu sudah tidak masalah," kata Ampera.
Beberapa kalangan dari masyarakat modern, ada yang memandang kegiatan mamakiah, sebagai tindakan meminta-minta. Sedangkan Rasulullah Muhammad Saw, mengatakan, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Menanggapi hal itu, Ampera, tidak sepandapat. Santri Darul Ulum, katanya, mamakiah bukan mencari kekayaan. Tapi hanya sekedar mencari kebutuhan belajar.
"Kami tidak berbuat sesuatu, yang dilarang oleh Rasulullah. Justru kami menganggap mamakiah ini, sebagai salah satu mata pelajaran pokok, melatih jiwa dan mengasah nurani," katanya.
Ditambahkan, Seorang penuntut ilmu, yang mencurahkan tenaganya untuk menuntut ilmu syar'i, meskipun dia masih mampu untuk bekerja, boleh untuk diberikan bagian dari harta zakat. Hal ini karena menuntut ilmu syar'i termasuk bagian dari jihad fisabilillah.
Santri Darul Ukum, melakukan mamakiah akhir akhir ini, hanya sekali seminggu, hari Kamis saja. Dahulunya hari Kamis dan Jum'at. Sampai hari ini, tidak ada pengaruh negatif secara psikologis, terhadap keberadaan santri Ponpes Darul Ulum.
Sebab, mamakiah sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan mata pelajaran, yang harus dilakukan santri. Sehingganya budaya mamakiah tidak melakat kepada diri mereka. Karena, pada batas-batas tertentu, saat santri sudah pandai berceramah dan sudah tahu memberikan wirid pengajian, mereka tidak melakukan mamakiah lagi.
Karena itu pula, Pimpinan Ponpes Darul Ulum Padang Magek, akan tetap mempertahankan mamakiah sebagai salah satu mata pelajaran di pondoknya. Alasannya, selama ini, tidak ada masyarakat nagari-nagari di Tanah Datar, yang diresahkan oleh anak santri yang mamakiah.
Malah sebaliknya, banyak warga masyarakat yang merasa terbantu oleh kegiatan ini. Seperti dalam memanjatkan doa keluarga dan melapaskan nazar dan niat tertentu. Karena itu pula, anak santri Darul Ulum tidak merasa rendah diri dengan kegiatan mamakiah.
Bagi masyarakat Tanah Datar, sejak dahulu hingga kini sudah akrab dengan anak siak (santri) Surau Baru (Pesantren Darul Ulum) Padang Magek. Seperti diakui M. Nasir Naid, salah seorang tokoh masyarakat Nagari Lima Kaum.
Menurutnya, kalau ada anak anak seusia sekolah pakai sarung , pakai peci hitam dan membawa buntia, itulah ciri khas santri Pondok Pesantren Darul Ulum Padang Magek.
Mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat kami, untuk memanjatkan doa keluarga. Kalau ada warga masyarakat yang ingin berdoa untuk arwah orang tua-tua, tidak sulit menunggu orang siak (pelafal doa).
"Tunggu saja kehadiran anak siak dari Padang Magek, setiap hari Kamis. Mereka juga tidak macam-macam. Cukup diberi beberapa gelas beras atau sejumlah uang. Pokoknya lihlahi ta'ala, sama-sama ikhlas," kata M Nasir Naid yang juga salah seorang Sarjana IAIN.
Selain berguna untuk melatih kesabaran diri dan mengasah jiwa, mamakiah juga sangat berguna untuk tempaan moral calon pemimpin masyarakat.
Dalam hal ini, Sosiolog Mochtar Naim, mengatakan, bahwa kegiatan mamakiah yang dilakukan santri Darul Ulum dan beberapa santri pesantren lain di Sumbar, hampir sama dengan yang dilakukan calon pemimpin di daerah Tibet, Thailand dan Kamboja.
Di daerah itu, kata Mochtar, calon pemimpin masyarakat itu harus dilatih kesabarannya, diasah rendah-hatiannya, dengan menjadi orang papa di tengah masyarakat, selama beberapa tahun.
Mereka mencoba hidup dari masyarakat, sambil menyelami prilaku masyarakat. Tujuan akhirnya bagaimana seorang pemimpin itu tidak sombong, tidak angkuh dan tidak tinggi hati.
Dan, terakhir yang sangat diperlukan mereka, kata Mochtar, mereka tahu betul dengan kehidupan masyarakat, perasaan masyarakat yang dipimpinnya.
Kurang lebih itulah yang didapatkan santri Darul Ulum dalam mata pelajaran mamakiah.
Seperti diakui Guru Besar Darul Ulum Buya H Jakfar Tuanku Imam Mudo, lulusan darul ulum, sejak dahulu hingga kini, tetap berguna bagi masyarakat. Umumnya mereka yang telah selesai mengaji di Pesantren ini, langsung berbaur ke masyarakat di kampung masing-masing.
"Setamat dari darul ulum, mereka umumnya, diangkat menjadi Imam Masjid, Ulama Nagari dan juga ada yang dipercaya menjadi Wali Nagari. Kalaupun mereka akhirnya pergi merantau, mereka tetap dekat dengan masjid dan umat, disekitar tempat mereka tinggal," kata Buya Jakfar.
Ditambahkan, santrinya banyak berasal dari Nagari Tujuh Koto Kab. Padang Pariaman, Tanjung Simalidu Kab. Darmasraya, Aripan Kab. Solok dan Lumindai, Kota Sawahlunto serta Nagari Malalo, Simaeang, Singgalang, Panyalaian, Sungai Tarab Kab. Tanah Datar.
Sama halnya dengan sekolah lain, setamat belajar anak didik menempuh jalur hidup masing-masing. Karena itu pula sekedar untuk diingat, mereka yang pernah belajar di Pesantren Darul Ulum ada juga yang jadi PNS, Pengusaha, Pedagang dan lain lainnya.
"Sayangnya, sejak dahulu kami tidak mencatat, nama-anam alumni. Sehingga jumlah santri yang pernah belajar di sini, tidak terdata dengan rapi. Kalau diperkirakan sejak 1942, jumlahnya mungkin sudah puluhan ribu," kata Ampera Salim yang juga anak pendiri Pesantren Darul Ulum Padang Magek, Tuanku Salim Malin Kuning.
Saat ini Pesantren Darul Ulum Padang Magek, sedang membangun lokal baru dan tempat pemandian. Bagi kaum muslimin dan muslimat yang ingin membantu, bisa menyalurkannya melalui: Bank Nagari Syariah No rekening : 72020201001560 A/n. PONDOK PESANTREN DARUL ULUM. (Humas Darul Ulum)
Komentar