Terkait Baliho Balon Gubernur Prof. Ganefri, Prof.Busyra Azheri: Tak Ada Pelanggaran Kode Etik ASN

Penulis: BM | Editor: Marjeni Rokcalva

PADANG - Pakar Hukum Unand, Prof. Dr. Busyra Azheri, S.H., M.Hum angkat bicara menyangkut kontroversial yang terjadi di masyarakat Sumatera Barat, tentang baliho Prof. Ganefri yang terpampang sebagai Bakal Calon (Balon) Gubernur 2024 dengan statusnya masih sebagai ASN atau PNS.

Ia meluruskan, baliho Prof.Ganefri yang terpasang dijalan-jalan tidak ada unsur pelanggaran kode etiknya sebagai ASN.

"Karena di baliho itu tidak ditemukan unsur politik nama-nama partai pengusung dia untuk menjadi calon kepala daerah," ucap mantanDekan Fakultas Hukum Unan ini, Kamis(30/5/2024).

Ia juga memberikan alasan, yakni di dalam baliho yang terpasang hanya bentuk keinginan Alumni untuk mengorbitkan Ganefri sebagai Bakal Calon (Balon) Kepala Daerah.

"Juga tujuan alumni, untuk melihat berapa besar keinginan masyarakat untuk menjadikan mantan rektor UNP itu sebagai kepala daerah nantinya. Artinya, Ganefri sendiri masih menjunjung tinggi asas netralitasnya sebagai ASN," tegas pria yang bergelar Datuak Bungsu itu.

Sebagai ahli hukum, Busyra Azheri menjelaskan menyangkut Pasal 119 UU ASN yang menyatakan:

"Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon".

Selanjutnya Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan:

"Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon".

Di pasal-pasal ini memang dilarang bagi PNS untuk mendaftar diri sebagai calon Kepala Daerah kalau belum melakukan pengunduran diri secara tertulis. Tetapi pada kasus baliho Prof. Ganefri ini berbeda lagi.

"Disini Ganefri belum mendaftar diri sebagai calon, hanya keinginan Alumni UNP saja untuk menjadikan Prof. Ganefri sebagai calon Kepala Daerah," tegasnya.

Untuk itu, hematnya, persoalan baliho Balon Gubernur ini tidak ada ditemukan unsur pelanggaran kode etik yang dilakukan Ganefri sebagai ASN atau PNS.

Kasus seperti ini pernah terjadi di daerah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 silam. Dibandingkan dengan persoalan baliho Prof. Ganefri, kasus disinyalir lebih rumit. Ada laporan beberapa PNS yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut pencalonan diri sebagai Kepala Daerah.

Waktu itu, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang diajukan oleh delapan orang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan Perkara No. 41/PUU-XII/2014, pada Rabu (8/7/2014) di Ruang Sidang Pleno MK.

Menurut Mahkamah, berdasarkan Putusan No. 45/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 12/PUU-XI/2013, sebenarnya Mahkamah telah menyatakan pendiriannya menyangkut syarat pengunduran diri PNS ketika hendak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik.

Dalam dua putusan itu, Mahkamah telah menyatakan bahwa keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM. Tidak ada HAM yang dikurangi, melainkan sebagai konsekuensi hukum atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik.

Namun, meskipun berpendapat demikian, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan lebih lanjut aspek kepastian hukum dan keadilan berkenaan dengan pertanyaan "kapan" pengunduran diri tersebut harus dilakukan.

Hal ini berkait dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon.

Menurut Mahkamah, apabila syarat pengunduran diri PNS dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU ASN, maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu Ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan.

"Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Sebab, terdapat ketentuan Undang-Undang yang mengatur substansi serupa namun memuat persyaratan atau perlakuan yang tidak setara meskipun hal itu diatur dalam undang-undang yang berbeda, dalam hal ini Undang-Undang Pilkada," sambungnya.

Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada juga terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU Pilkada.

Untuk itu, Mahkamah menilai demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, maka pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar, melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," ucap Arief Hidayat membaca amar Putusan Perkara No. 41/PUU-XII/2014 didampingi delapan Hakim Konstitusi yang lain. (BM)

Loading...

Komentar

Berita Terbaru