Penulis: Marjeni Rokcalva | Editor: Marjeni Rokcalva
OPINIWartawan Senior Bersihar Lubis di Harian Analisa Selasa 9 Juli 2924, menarik sekali untuk disimak. Terutama melihat fenomema pengkaderan di tubuh partai politik (Parpol) di Indonesia dan sulitnya mencari calon pemimpin bagi Parpol di Indonesia, mulai berjenjang menjadi pemimpin di pusat hingga ke daerah.
Ia mengutip isi buku yang ditulis oleh Jhon D Ledge dari University of Oxford Inggris bertajuk "Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan" (Pustaka Utama Grafiri 1993), tampak betapa rekrutmen di tubuh Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Soetan Sjahrir sangat kualitatif. Setiap calon anggota dan kader harus paham berbagai knowledge yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan masalah internasional. Sedikitnya pengetahuan elementer.
Tak heran jika banyak kader PSI adalah para intelektual tamatan sekolah hukum dan kedokteran. Sebutlah, Soedjatmoko, Mahruzar, Sitorus hingga berbagai nama yang belakangan sebagian menjadi anggota kabinet di masa Sjahrir, maupun sesudahnya.
Sebetulnya, pola kaderisasi itu pernah berlangsung sistematis di tubuh organisasi mahasiswa, seperti HMI, IMM,PMII, GMNI, PMKRI dan GMKI di awal Orde Baru. Seseorang hanya bisa menjadi pengurus tingkat kampus jika sudah lolos basic training, dan kaderisasi ini akan berjenjang naik jika seseorang hendak menjadi pengurus kabupaten-kota, provinsi dan tingkat nasional. Tanpa itu, jangan harap Anda bisa menjadi pengurus.
Konon kabarnya, kaderisasi yang baik ini kini masih dipertahankan di tubuh Ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Seorang yang akan menduduki jabatan sebagai Ketua MWC di Kecamatan saja harus lulus latihan dasar pengkaderan NU. Begitu ketika ingin menduduki jabatan sebagai Ketua PC NU di kabupatan atau kota serta pengurus PW di provinsi setidaknya harus lulus pengkaderan level menengah.
Nah, dengan kondisi saat ini yang begitu gersangnya kaderisasi, memungkinkan munculnya para oportunis di partai politik yang jangan-jangan menganggap partai adalah "peluang kerja." Jika sudah masuk ke sturuktur kekuasaan, baik di legislative dan eksekutif adalah "jembatan emas" untuk menikmati berbagai fasilitas.
Kader partai menjadi sangat pragmatis dan transaksional, walaupun bukan generalisasi. Tragisnya, tak sedikit pula yang tersadung dengan kasus suap dan korupsi, sehingga citra partai terempas.
***
Kini kita menikungkan pandangan ke hingar bingar proses pencalonan pasangan gubernur dan wakil gubernur, pasangan bupati dan wakil bupati serta pasangan walikota dan wakil walikota yang akan berlaga pada Pilkada serentak 2024 ini.
Fenomena seseorang yang ingin menjadi calon KDH mendadak masuk parpol, dan diterima, kerap terjadi. Data terbaru terjadi saat Bobby Nasution menjadi calon Walikota Medan maupun Gibran Rakabuming Raka mernjadi calon Walikota Solo masuk menjadi anggota PDIP. Atau seorang KDH yang mencalonkan KDH lagi juga diterima menjadi anggota partai.
Bahkan, ada anak pembesar mendadak menjadi ketua umum partai. Pun gubernur, bupati dan walikota, atau para mantannya, bisa menjadi ketua parpol. Tengoklah, mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil direkrut menjadi Wakil Ketua Umum Golkar pada 18 Januari 2023 silam. Begitu juga dengan fenomena masuknya Rektor UNP Prof Ganefri sebagai bakal calon Gubernur Sumbar dari Partai Golkar April 2024 lalu.
Ada pula "kutu loncat" dari satu partai ke partai lain. Tak heran jika koalisi antarpartai, baik dalam mencalonkan presiden, gubernur, walikota dan bupati sangat lentur. Siapa saja boleh berkoalisi dengan siapa, dan pertimbangannya untuk kepentingan elektoral merebut kekuasaan.
Koalisi itu berbeda-beda antardaerah yang semakin meneguhkan bahwa politik kepentingan menjadi nomor satu.
Yang bersekutu dalam koalisi Pilpres bisa berbeda dalam koalisi Pemilihan Gubernur (Pilgub). Misalnya, jika Golkar menjagokan Airin Rachmi Diany sebagai Cagub Banten 2024, yang terbetik kabar disandingkan dengan Ade Sumardi, Ketua DPD PDIP. Padahal Golkar dan PDIP berseberangan dalam Pilpres.
Sementara Gerindra melirik Andra Soni dan Dimyati Natakusumah bersama PKS dan Nasdem menjadi Cagub Banten. Padahal dalam Pilpres, Gerindra dan Nasdem serta PKS berseberangan. Bahkan, tadinya Gerindra bersekutu dengan Golkar menjagokan Prabowo Subianto.
Juga, kondisi semakin mesranya Vasco Roseimy (Gerindra) dengan Mahyeldi (PKS) serta Epyardi Asda dari PAN dengan Audy Joinaldy (PPP). Kita tahu, Gerindra berseberangan dengan PKS di Pilpres bagitu juga dengan PAN dan PPP.
Partai bisa diandaikan kenderaan untuk mencapai tujuan. Kini naik kenderaan Anu, besok naik kenderaan lain pula. Yang penting bisa menjadi pengurus di pusat dan daerah, dan peluang menjadi anggota DPRD-DPR, KDH, bahkan anggota kabinet pun terbuka.
Di Sumatera Utara, Gerindra, PAN, Golkar, PKB dan Nasdem kompak mencalonkan Bobby Nasution dalam Pilgub 2024. Padahal dalam Pipres, Gerindra, Golkar dan PAN berseberangan dengan PKB dan NasDem.
Menghadapi Pilgub Jawa Barat dan Jakarta, lagi-lagi Golkar rada berbeda dengan Gerindra. Golkar cenderung mengusung Ridwan Kamil di Pilgub Jawa Barat, Tapi Gerindra menyukai Ridwan tampil di Pilgub Jakarta. Memang belum final. Masih dinamis.
Fenomena ini membuktikan tidak ada pola rekrutmen partai yang terseleksi dalam program kaderisasi yang berjenjang dari bawah hingga ke tingkat puncak. Tidak ujug ujug menjadi Cagub. Mestinya, dari pengkaderan inilah kemudian muncul para Calon Presiden, KDH dan anggota DPR-DPRD.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Jawabannya, karena kaderisasi tak mandek di banyak Parpol di Indonesia. Hanya segelintir parpol saja yang masih menjalankan kaderisasi dengan baik.
Penulis adalah jurnalis tinggal di Padang
(Marjeni Rokcalva)
Komentar