Penulis: Hendri Ainsyah Koto | Editor: Marjeni Rokcalva
PENULIS menyampaikan selamat Dies Natalis ke-68 kepada Universitas Andalas (UNAND) yang jatuh pada tanggal 13 September 2024 dan Dies Natalis ke-70 kepada UNP yang jatuh pada tanggal 23 Oktober 2024 mendatang. Duo dies natalis, berbeda bulan saja, dari dua universitas besar lagi berpengaruh nan didirikan oleh founding father Republik Indonesia: Drs. Muhammad Hatta dan Mr. Muhammad Yamin, nan ka manjadi pusako bagi bangsa Indonesia di Minangkabau.
UNAND dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 13 September 1956 di Bukittinggi. Sedangkan, UNP yang cikal-bakalnya PTPG Batusangkar dibuka secara resmi oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia Mr. Muhammad Yamin pada tanggal 23 Oktober 1954 di Batusangkar. Mungkin itulah sebabnya jaket almamater UNP berwarna kuning karena bendera luhak Tanah Datar pada marawa bewarna kuning. Dari dua universitas ini, kita mengenal Rektor UNAND Drs. Harun Zain (1964-1968) dan Rektor IKIP Padang Prof. Dr. Isjrin Noerdin (1965-1973) sebagai sosok cadiak-pandai telah berbuat yang terbaik di waktu lalu: mambangkik batang tarandam, mambangun kampuang halaman. Sehingga tepatlah kiranya seperti yang diungkapan oleh pepatah Minangkabau: baraja ka nan pandai, batanyo ka nan tahu, mancaliak contoh ka nan sudah, mancaliak tuah ka nan manang, alam takambang jadi guru.
Drs. Harun Zain mungkin lebih dikenal sebagai Gubernur Kepala Daerah (KDH) Tk. I Sumatera Barat daripada sebagai Rektor UNAND. Sungguhpun beliau lebih dahulu jadi Rektor daripada jadi Gubernur. Harun Zain menjadi Rektor UNAND pada tahun 1964-1968. Selagi masih menjadi Rektor UNAND, Drs. Harun Zain juga diberi kepercayaan menjadi Gubernur Sumatera Barat yang dilantik pada tanggal 6 Juni 1966 oleh Mendagri atas nama Presiden Republik Indonesia, waktu itu Ir. Soekarno. Saat menjadi Rektor UNAND, Drs. Harun Zain baru berumur 37 tahun.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1966, Drs. Harun Zain berumur 39 tahun, beliau pun dipercaya menjadi Gubernur Sumatera Barat. Kedua jabatan ini: Rektor sekaligus Gubernur, berhasil beliau laksanakan dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung jawab. Hingga pulang kampung penganti beliau sebagai Rektor UNAND yaitu seorang dokter ahli penyakit dalam RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, alumni UI juga, anak nagari Koto Gadang: Prof. dr. Busyra Zahir (Abrar Yusra, 1997:137). Harun Zain memiliki sejumlah sahabat segenerasi yang pulang ke ranah Minang untuk mengabdi, sesuai dengan bidangnya masing masing-masing.
Satu diantaranya adalah Ir. Januar Muin, alumni ITB, yang berhasil membangun proyek PLTA Batang Agam, yang sudah lama dicita-citakan Bung Hatta (Marthias Doesky Pandoe, 1997:369). Maklum, pada waktu itu Sumatera Barat pasca dilanda peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) selama 3 tahun 6 bulan 28 hari (15 Februari 1958 - 28 September 1961) (Kevin W. Fogg, 2015:166, 170-171, dan Afdhal, 2015:107).
Ternyata semangat mambangkik batang tarandam, mambangun kampuang halaman adalah sebuah solusi yang efektif dan didukung oleh tokoh-tokoh Minangkabau di tanah rantau kala itu, karena kondisi Sumatera Barat yang memprihatinkan. Sehingga sungguh banyak para pemuda-pemudi Minangkabau nan cemerelang di berbagai kampus ternama seperti UI, ITB, IPB, UNAIR, UGM, dsb, yang pulang ke ranah Minang. Ini diistilahkan oleh orang cadiak-pandai dengan ungkapan mambangkik batang tarandam. Menurut Marthias Doesky Pandoe (1997:386) untuk jadi Rektor IKIP Padang, Drs. Harun Zain mengajak Prof. Dr. Isjrin Noerdin pulang ke Sumatera Barat, meninggalkan jabatannya di ITB.
Walaupun waktu itu peluang Prof. Dr. Isjrin Noerdin menjadi Rektor ITB terbuka lebar, namun beliau lebih memilih membangun kampuang halaman, ranah minang sungguhpun hujan emas di rantau orang, hujan batu di kampuang kito, namun kampuang takana juo. Prof. Dr. Isjrin Noerdin pun menerima tawaran menjadi Rektor IKIP Padang waktu itu (1965). Berhubung Prof. Dr. Isjrin Noerdin lebih memilih pulang kampuang, maka pada akhirnya yang ditetapkan menjadi Rektor ITB adalah Letkol Ir. Koentoadji (1965-1969). Presiden RI menerbitkan Surat Keputusan Nomor 351 Tahun 1965 tentang IKIP Padang berdiri sendiri, yang sebelumnya merupakan IKIP Jakarta Cabang Padang, terhitung sejak 30 Agustus 1965, Prof. Dr. Isjrin Noerdin pun menjadi Rektor IKIP Padang yang pertama, menjabat dari tahun 1965-1973. Walau, sesungguhnya telah banyak yang beliau perbuat di tanah rantau: anggota pendiri FIPIA UI Jakarta (1960), mendirikan MENWA atas persetujuan WANPAHANKAM Nomor M/A/20/1963 yang menginspirasi lahirnya MENWA diberbagai perguruan tinggi lainnya di Indonesia, menjadi Guru Besar ITB (1963), menjadi Dekan DKB ITB (1965), Pembantu Rektor III ITB, dsb.
Hal yang sangat menarik adalah Drs. Harun Zain dan Prof. Dr. Isjrin Noerdin memiliki latar belakang yang sama. Harun Zain pernah menjadi Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur, Kompi 1 Detasemen 1, Brigade 17 pada tahun 1948. Pada tahun 1950 Harun Zain selaku TRIP berpangkat Prajurit Satu (Pratu) didemobilisir dari Brigade 17 oleh Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar Pejuang (KUDPP) untuk tugas belajar ke FE-UI, yang berhasil diselesaikannya tahun 1958. Isjrin Noerdin pun pernah menjadi Wakil Komandan Artileri dalam BKR, TKR, TRI, dan TNI pada masa revolusi fisik di Aceh tahun 1945-1949. Isjrin Noerdin lalu mengundurkan diri dari Dinas Ketentaraan lalu melanjutkan kuliah ke FIPIA-UI di Bandung. Mungkin karena faktor latar belakang inilah, sedikit-banyaknya mempengaruhi cara beliau memimpin UNAND dan IKIP Padang di kemudian hari.
Ciri khas kepemimpinannya adalah egaliter dan berpandangan luas. Cara memimpin duduak samo randah, tagak samo tinggi, ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun beliau pakaikan. Karena beliau paham betul bahwa pemimpin didahulukan selangkah, ditinggikan seranting dari orang yang dipimpinnya. Suatu sifat yang telah ber-urat dan ber-akar dalam budaya orang Minangkabau.Kesamaan selanjutnya adalah Baik Drs. Harun Zain maupun Prof. Dr. Isjrin Noerdin adalah sama-sama alumni UI. Harun Zain alumni FE-UI, Isjrin Noerdin alumni FIPIA-UI (1951-1957) tetapi sebelumnya pada tahun 1941 beliau kuliah di Technische Hoogeschool te Bandung (ITB sekarang) satu almamater dengan Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menetapkan FIPIA-UI di Bandung dan FT-UI di Bandung menjadi ITB pada tahun 1959.
Kesamaan berikutnya adalah, keduanya sama-sama melanjutkan pendidikan ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Harun Zain ke University of California (1959) dua tahun lebih awal dari Emil Salim, tetapi saat sampai disana beliau telah mendapati Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana setahun lebih dulu (Abrar Yusra, 1997:86). Mungkin inilah sebabnya ada juga yang mengelari Harun Zain termasuk "kelompok" Berkeley. Sedangkan Isjrin Noerdin tamat Doktor dari ITB tahun 1961, lalu melanjutkan pendidikan ke Princeton University pada tahun 1963.Harun Zain dan Isjrin Noerdin sama-sama lahir dan dibesarkan di tanah rantau. Harun Zain lahir 1 Maret 1927 di Batavia (Jakarta sekarang) yang menjadi Ibu Kota Pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Ayahnya adalah Sutan Muhammad Zain, seorang pejuang intelektual tamatan Sekolah Rajo di Bukittinggi.
Setelah tamat, Sutan Muhammad Zain menjadi guru di Maninjau (1907), Makassar (1908), Batavia (1911), OSVIA Bandung (1912), Kepala Pengarang Balai Pustaka (1914), Dosen Bahasa Melayu di Universiteit Leiden (1922-1926), Kepala Balai Bahasa Indonesia (1947-1949), Ketua Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Nasional Jakarta (1949), dan meraih gelar Profesor dari Universiteit Leiden pada 1957 ( https://niadilova.wordpress.com/2014/10/23/in-memoriam-prof-harun-zain-1-maret-1927-19-oktober-2014/ ). Dr. Suryadi, dosen Universiteit Leiden, Belanda, mengistilahkan beliau sebagai "perantau Minangkabau golongan kerah putih" ( https://niadilova.wordpress.com/2014/05/05/minang-saisuak-173-putra-pariaman-aset-nasional/ ).
Isjrin Noerdin lahir di Langsa, Aceh, suatu daerah yang sangat kuat memegang ajaran Islam dan daerah yang tidak pernah mampu ditaklukan oleh penjajahan Belanda secara nyata. Ada pelajaran terbaik yang patut kita ambil. Bahwa terdapat jalinan komunikasi dan silaturrahmi yang kuat antara Rektor UNAND Drs. Harun Zain dengan Rektor IKIP Padang Prof. Dr. Isjrin Noerdin. Hal ini mungkin disebabkan karena sama-sama memiliki niat yang tulus mambangkik batang tarandam, mambangun kampuang halaman setelah peristiwa PRRI (1958-1961) sehingga Sumatera Barat jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Jejak langkah pertama Drs. Harun Zain saat menapakkan kaki di ranah Minang adalah sebagai dosen terbang Fakultas Ekonomi Pancasila (sekarang FE UNAND) pada tahun 1961 dan dosen terbang FKIP UNAND yang dahulunya adalah PTPG Batusangkar (sekarang UNP). Pada masa ini, tahun 1961-1963, Harun Zain bolak-balik dari Jakarta ke Padang, karena beliau adalah dosen tetap FE-UI. Sebelumnya, Harun Zain juga menjadi dosen tamu di University of Philippine (1961) dan mengajar di Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang (1961-1963).
Pendiri UNSRI Palembang adalah orang Minang juga, dr. Muhammad Isa, seorang alumni STOVIT Surabaya (UNAIR sekarang). dr. Muhammad Isa menjadi Rektor pertama UNSRI Palembang pada tahun 1960-1966, namun sebelumnya beliau adalah Gubernur Sumatera Selatan (1948-1954) setelah Gubernur Adnan Kapau Gani. Adnan Kapau Gani juga berdarah Minangkabau, Pemerintah telah menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional RI (Hasril Chaniago, 2023:27, 38). Jadi pada masa ini (1960-an), sungguh banyak para pemuda-pemudi Minangkabau nan cemerlang di berbagai kampus ternama: UI, ITB, IPB, UNAIR, UGM, dsb, yang pulang kampung untuk mengabdi sesuai dengan bidangnya masing masing-masing. Disini berlaku apa yang disebut dengan mambangkik batang tarandam, istilah yang diberikan oleh Prof. Dr. Jenderal. Polisi (Purn) Awaloeddin Djamin kepada Drs. Harun Zain saat menjadi Rektor UNAND (Abrar Yusra, 1997:323).Ketika Harun Zain menjadi Rektor UNAND, kantor Rektorat UNAND berada di Jati, Padang. Rumah Dinas Kediaman Rektor yang sederhana. Kampus barunya di Air Tawar baru di isi Fakultas Peternakan (Abrar Yusra, 1997:133). Ada pesan nan arif dari Rektor UNAND Drs. Harun Zain kepada mahasiswa UNAND saat itu "sadarilah fungsi kalian sebagai mahasiswa universitas tertua di luar Jawa. Ini kan perguruan tinggi. Tempat kita memancarkan kehadiran kita. Bagaimana kita membangun masa depan Sumatera Barat".
Oleh: Dr. Hendri Ainsyah Koto, Alumni UNP
(Hendri Ainsyah Koto)
Komentar