Anggota Dewan Jangan Sekadar Jadi Tukang Salur Proyek

Penulis: Miko Kamal, Ph.D | Editor: Marjeni Rokcalva

INI artikel lanjutan dari artikel saya sebelumnya: Menunggu Parle 18 Orang. Artikel yang berisi harapan saya dan mungkin sebagian warga Sumbar agar 18 orang yang sudah resmi mendapat ragam fasilitas di Senayan itu segera mematikan "mode mute" mereka.

Judul artikel ini sengaja saya buat agak provokatif, agar mereka yang 18 orang itu tidak mengulangi keteledoran yang pernah dilakukan senior-senior mereka sebelum-sebelumnya. Tidak ada harap lain, saya ingin benar yang 18 orang itu menjadi tokoh-tokoh hebat yang diperhitungkan di tingkat nasional. Tokoh-tokoh yang pokok-pokok pikirannya mewarnai diskursus politik-kebangsaan yang membanggakan kita.

Bukan sekadar orang daerah yang pindah kantor ke Jakarta. Bukan pula sekadar jadi penyalur proyek-proyek Pemerintah di kampung atau orang yang hanya jadi agen dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara.

Baca Juga


Sekali lagi, saya yakin, ini bukan hanya harapan saya seorang. Kethauilah, banyak orang lain yang berharap sama: batang yang sudah lama terendam bangkit lagi.

Bukan bermaksud meratapi kotoran hanyut, sudah lama benar dari rahim Bundo Kanduang tidak lahir tokoh-tokoh berkelas serupa Bung Hatta, Sutan Syahrir, M Yamin, M Natsir, H Agus Salim, Buya Hamka, Tan Malaka dan lainnya. Tokoh-tokoh yang dikagumi orang se-nusantara.

Dalam beberapa dekade setelah kemerdekaan, jumlah orang Minang (baca juga Sumbar) yang berpengaruh di pentas nasional jauh berkurang jumlahnya. Itu fakta yang sulit dibantah.

Kita memang kehilangan tokoh yang berkepala tegak di Senayan. Ada, tapi jumlahnya tidak seberapa. Itupun lebih banyak membicarakan urusan domestik partai mereka, bukan perang pemikiran terkait hal-hal besar dan penting untuk kemajuan bangsa dan negara.

Proses lahirnya tokoh berpengaruh di dunia politik-kebangsaan memang berbeda dari masa ke masa. Bung Hatta dan kawan-kawan memulainya dengan jalan menguatkan kapasitas diri mereka. Mereka berjuang di tengah kepungan penjajah. Bacalah sejarah bagaimana Bung Hatta dan kawan-kawan menjadi tokoh-tokoh hebat.

Masa sekarang, prosesnya lain lagi. Jalur Senayan adalah salah satu jalan cepat menjadi tokoh nasional. Sebenarnya, proses melalui jalur Senayan relatif tidak terlalu sulit dan berliku seperti masa dulu. Sistem politik kontemporer sangat memungkinkan setiap orang menjadi tokoh. Perahu partai politik banyak yang bisa ditumpangi menuju Senayan.

Empat belas orang itu buktinya: mereka lahir dan berkembang seperti sekarang karena dianjungkan partai politik tempat mereka menumpang. Yang empat orang lagi, meskipun secara formal ke Senayan tidak melalui partai politik, mereka lahir dan dibesarkan dalam sistem politik yang sedang berjalan: sistem politik yang sangat memungkinkan orang-orang tertentu menjelma menjadi seorang tokoh.

Sekarang tunggu apalagi. Pintu kesempatan sudah terbuka lebar. Kursi dan meja ada. Mimbar ada. Mikrofon juga sudah tersedia. Tinggal memaksimalkan semua fasilitas itu saja lagi.

Belum cukup pengetahuan? Itu bukan halangan berarti. Toh, secara teknis, setiap mereka juga disediakan tenaga ahli yang bisa dipilih kepintarannya.

Tidak ada orang yang tahu segalanya. "Kakek Segala Tahu" hanya ada dalam cerita Wiro Sableng saja. Soal yang satu ini, jadikan saja kalimat Buya Hamka sebagai motivasi: "Kita harus senantiasa berusaha untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri, karena setiap orang memiliki potensi yang luar biasa".

Padang, 3 Oktober 2024

Oleh: Miko Kamal, Ph.D, Advokat dan Wakil Rektor III Universitas Islam Sumatera Barat

(Miko Kamal, Ph.D)

Loading...

Komentar

Berita Terbaru