Padang Panjang: Berkumpul Bangga di Simpul Sumatera

Penulis: Marjeni Rokcalva

"Ini adalah kota yang berbahagia," demikian tulis AA Navis, pengarang Robohnya Surau Kami yang fenomenal itu. Di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup "walau kadang orang mati juga dilindasnya," kata Navis lagi.

Tempat apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar nama Sumatera Barat atau Ranah Minang? Sebagian besar mungkin akan menjawab Padang atau Bukittinggi sebagai dua nama yang selalu terngiang pertama kali. Belum lama lalu, saya pun merasakan hal serupa, betapa pengetahuan saya akan ranah Minang, sebuah negeri yang berhias Bukit Barisan dan dipenuhi berbagai pesona, mulai dari gunung api, danau, ngarai, hingga sawah padi yang luas seolah tak berbatas, sangat sedikit.

Namun kini saya punya nama baru, yang telah sangat membekas di benak saya. Namanya Padang Panjang. Orang di luar Sumbar mungkin tak sering mendengar kota yang dikelilingi pegunungan dengan pohon-pohon menjulang dari hutan primer yang hijau. Kota dengan wilayah terkecil di Sumatera Barat ini berada di daerah ketinggian yang terletak antara 650 sampai 850 meter di atas permukaan laut, berada pada kawasan pegunungan yang berhawa sejuk dengan suhu udara maksimum 26.1 C dan minimum 21.8 C, dengan curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata 3.295 mm/tahun.

Baca Juga


Jika di Jawa kita punya Bogor yang berjuluk kota Hujan, maka Padang Panjang adalah Kota Hujan di Sumatera. Saya mengunjungi kota ini di hari-hari awal musim hujan, dan benar saja...hujan di sini benar-benar deras.

Di bagian utara dan agak ke barat berjejer tiga gunung: Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat yang menjulang. Kota ini punya banyak julukan lain selain kota hujan. Masyarakat Padang Panjang sangat bahagia dengan sebutan Kota Serambi Mekkah, di masa lalu, Belanda menyebut Padang Panjang dengan Egypte van Andalas (Mesir di Tanah Sumatera), Kota Pendidikan karena banyaknya institusi pendidikan dan sejarah panjang bagaimana kota ini memerankan peran pendidikan sejak masa lalu.

Di masa lalu, Padang Panjang merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh, pada masa Perang Padri kawasan ini diminta Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menundukan kaum Padri yang masih menguasai kawasan Luhak Agam. Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju Kota Padang karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII di kabupaten Solok sekarang.

Sejak masa lalu, Padang Panjang memainkan peran penting sebagai tempat persinggahan dan menjadi simpul 3 kota utama di pulau emas tersebut, yakni Medan, Padang, dan Pekanbaru. Tak heran, banyak tokoh-tokoh Sumatera Barat di masa lalu mempunyai irisan penting dengan Padang Panjang yang juga menjadi tujuan pendidikan di masa itu. Mulai dari Sutan Sjahrir, Hamka, AA Navis dan masih banyak lagi. Saya tak ingat satu persatu.

Di sinilah berdiri sekolah agama modern pertama di Indonesia, yakni Diniyah School dan Diniyah Putri, juga yayasan pendidikan Thawalib tempat Hamka pernah menuntut ilmu. Di Padang Panjang lah (terutama di Negeri Batipuh Sapuluh Koto), setting cerita fenomenal Tenggelamnya Kapal van Der Wick, pun juga salah satu cerita yang sangat saya sukai..Robohnya Surau Kami .

Di Padang Panjang...saya diterima sebagai keluarga, dan saya begitu merasa terhormat bisa bertemu dengan orang-orang hebat yang begitu mencintai kotanya, dan mencurahkan waktu tenaga dan pikirannya untuk kemajuan kota kecil yang indah ini. (Terima kasih) Banyak cerita dari perjalanan 300 km saya menaiki sepeda motor berkeliling Sumatera Barat, dari Padang-Solok-Sawah Lunto - Batu Sangkar - Padang Panjang - Bukittinggi - Padang. Dan saya bangga, memulai cerita saya dari Padang Panjang...sang simpul Sumatera.

Dan demi Allah, saya akan kembali. (Akhyari Hananto)

Catatan: Artikel ini dibuat oleh Akhyari Hananto, 31 Agustus 2016: 15.10 WIB di Good News From Indonesia

Loading...

Komentar

Berita Terbaru