Penulis: Marjeni Rokcalva
JAKARTA - Masuk Ibukota Jakarta di saat PSBB (Pembatalan Sosial Berskala Besar), seperti memasuki "kota hantu". Mungkin agak berlebihan. Tapi Anda akan paham demi mengetahui, saya sudah lebih tiga minggu tidak menginjakkan kaki ke Ibukota (dari Depok).
Bicara Jakarta lengang, orang langsung teringat suasana Jakarta saat Lebaran. Sependek ingatan saya, hanya satu kali saya berlebaran di Jakarta (tahun 90-an). Mata di kepala baru pertama melihat, wajah Ibukota yang begitu "nyenyet", sepi tiada tara.
Nah, wajah Jakarta yang saya lihat kemarin (10/4/2020), dua kali lipat lebih sepi dibanding wajah Jakarta saat Lebaran. Bagi Anda yang tinggal di Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya, pasti tidak akan sulit membayangkan.
Jakarta yang biasa hiruk pikuk, lalu lintas semrawut, bunyi klakson yang tidak ada sopan-santunnya, saling serobot jalur khas pengemudi "SIM tembak", tidak akan kita jumpai. Wajah Jakarta sangat kalem. Tapi justru terasa menyeramkan. Apalagi jika otak Anda sudah dicekoki ratusan mungkin ribuan postingan tentang virus corona di grup-grup Whatsapp.
Itulah keseluruhan kesan yang saya tangkap dalam perjalanan dari Depok menuju Graha BNPB di Jl Pramuka, Jakarta Pusat. Hingga usai memarkir kendaraan di halaman depan, bayang-bayang sepinya Jakarta masih menari-nari di pikiran.
Pendek kalimat, usai meninggalkan KTP dan mendapatkan ID-Tamu no. 10, saya menuju deretan lift di belakang counter resepsionis. Kantor pusat BNPB yang sekarang menjadi markas Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 itu tidak sepi, tetapi tidak terlalu ramai juga. Akan tetapi untuk ukuran hari libur, bisa dibilang ramai.
OB Van (Outdoor Broadcasting Van) beberapa stasiun televisi terparkir di halaman Graha BNPB. Mereka setia meliput perkembangan penanganan pandemik COVID-19 day by day. Setiap hari, Gugus Tugas mendatangkan berbagai narasumber untuk memberi keterangan pers terkait pandemik COVID-19. Di samping tentu saja, penyampaian informasi reguler dari juru bicara Gugus Tugas COVID-19, Achmad Yurianto.
Dus, tidak heran jika aktivitas Graha BNPB tetap terasa marak. Terlebih jika dibandingkan suasana kota Jakarta Jumat kemarin. Bukan saja hari pertama pemberlakuan PSBB, tapi juga hari libur nasional Kenaikan Isa Almasih.
Baiklah, saya menuju pintu lift. Mata sempat terbelalak, bulu roma bergidik. Ini bawaan lahir. Kalau melihat sesuatu yang runcing-runcing, seketika ada desir merinding. Tapi bukan rasa takut. Lantas apa yang membuat mata saya yang tidak lebar ini terbelalak, dan bulu merinding?
Di sisi pintu lift, terpasang potongan styrofoam ukuran sekitar 10 x 15 cm. Di bagian depan digantung gelas (cup) kertas yang biasa dipakai buat minum air mineral galon atau menyeduh kopi instan. Nah, di sekeliling styrofoam tertancap puluhan tusuk gigi. Bentuknya yang langsing serta ujungnya yang runcing, jauh lebih menyeramkan dari hairstyle ala punk. Sekilas seperti kaktus. Melihat saja nyeri rasanya. Tentu ini tidak berlaku bagi semua.
Untuk sekian detik, saya benar-benar terpana. Berdiri terpaku melihat benda-benda di samping lift yang --sumpah mati—baru pertama saya lihat. Entah berapa detik saya diam terkesiap, sampai seorang pria mengagetkanku, "Mau naik pak?" Gagap saya menjawab, "Iy... iy... iya.... naik pak."
Pria tadi langsung mencabut satu tusuk gigi dan menekankannya di tombol up lift. Ooo... rupanya, itu maksud semua benda itu. Tusuk-tusuk gigi sebagai pengganti telunjuk.
Untuk menekan tombol, cabut satu tusuk gigi, dan tusukkan ke tombol up atau down pada pintu lift. Usai itu, buang ke gelas kertas yang menggantung di styrofoam.
Masuk ke dalam ruang lift. Benda-benda serupa ternyata juga ada. Tusuk gigi untuk menusuk nomor lantai yang hendak dituju. Di ruang lift, ada lagi yang baru, yakni stiker berisi pemberitahuan maksimal penumpang lima orang. Meski, lift itu berkapasitas belasan.
Pria tadi menusuk nomor 3. Di lantai 3 dia keluar. Saya masih tujuh lantai lagi. Dengan tusuk gigi yang saya ambil di pintu luar tadi, saya sudah menusukkannya ke nomor 10. Di sana sudah menunggu sahabat saya, Egy Massadiah, Tenaga Ahli Kepala BNPB Bidang Media, yang juga anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Bukan karena atas permintaan Egy, siang itu saya ke Graha BNPB. Tapi, demi mengetahui tiga minggu dia tidur di kantor, sudah terbayang, banyak sekali kisah-kisah menarik. Apalagi, Kepala BNPB, Doni Monardo serta sejumlah staf lain juga tidur di kantor, sejak Gugus Tugas efektif bertugas pertengahan Maret 2020.
Bayangkan, sudah tiga minggu tidak pulang. Sehari-hari bekerja keras "berperang" melawan virus yang tak tampak mata.
Teringat styrofoam dengan tusuk-tusuk gigi yang menancap tadi, seketika teringat lukisan seorang bocah tentang wajah corona yang sudah diperbesar jutaan kali. Alhasil, saat saya pamit pulang, di depan pintu lift lantai dasar, saya sudah bisa tersenyum memandang styrofoam dengan tusuk-tusuk gigi tadi.
"Sebuah seni instalasi yang indah," batinku.(Ranti Kartikaningrum/Hms/MR)
Komentar