Penulis: *** | Editor: Marjeni Rokcalva
Laporan: Ampera Salim (Padang Panjang)
PADANG PANJANG - BEBERAPA waktu lalu, saya berjumpa dengan Saudara Harry Nuriman dan kawan kawan dari Bandung. Mereka itu komunitas Kelompok Keahlian Ilmu Ilmu Kemanusiaan (KKIK) ITB. Harry adalah ketuanya. Mereka datang ke Padang Panjang mencari sesuatu.
Setelah berbincang sekitar satu setengah jam, akhirnya kami sudahi dengan shalat asar berjamaah di Masjid Zu'ama, Pasar Usang Padang Panjang. Letaknya bersebelahan dengan kantor Dinas Kominfo.
Baca Juga
Selintas usai shalat, saya sebut bahwa di masjid ini, dulunya Buya Hamka pernah mengaji dengan ayahandanya, Buya Karim Amarullah.
Saudara Harry tersentak. Terus dia menyarankan, agar dibuat tulisan tentang jejak Buya Hamka ada di masjid itu.
"Nanti tulisan itu, ditempel di dinding sini. Supaya pengunjung seperti kami tahu, jejak Buya Hamka ada di sini," kata Harry sambil menunjuk dinding tembok jalan menuju masjid.
Setelah pertemuan dengan Harry dan kawan berakhir, saya tanya sejarah masjid itu kepada pengurus. Pak Irwan Datuak Bandaro Nan Bauban, selaku pengurus menerangkan sebagai berikut.
Masjid Zu'ama, didirikan Syekh Abdullah Akhmad pada masa penjajahan Belanda, tahun 1895. Masa itu namanya Surau Jembatan Besi (Jembes). Berlokasi di Kelurahan Pasar Usang, Kecamatan Padang Panjang Barat.
Setelah dua belas tahun mengajar di surau itu, akhirnya pada tahun 1907, Syekh Abdullah Akhmad pindah mengajar ke Kota Padang.
Semenjak itu pimpinan pengajian Surau Jembatan Besi, dipegang oleh Syekh Daud Rasyidi. Beliau adalah Ayahanda H.M.D. Datuak Palimo Kayo, seorang ulama terkemuka Minangkabau, masa orde lama dan awal orde baru.
Semasa Syekh Daud mengajar di Surau Jembatan Besi, murid-murid dari nagari-nagari Batipuah X Koto, bertambah banyak datang mengaji.
Sekitar dua tahun beliau mengajar. Kemudian Syekh Daud Rasyidi pergi ke Arab Saudi. Beliau memperdalam pengetahuan agamanya, kepada Syekh Ahmad Chatib Almunangkabawi yang mengajar di Kota Mekah.
Sejak Syekh Daud Rasyidi berangkat ke Mekah, beliau digantikan oleh kakaknya, Syekh Abdul Latif yang merupakan ayahanda H. Muchtar Luthfi, juga dikenal seorang ulama Minangkabau.
Pada tahun 1911, Surau Jembatan Besi diasuh Syekh Abdul Karim Amarullah yang akrab disapa Inyiak Rasul. Beliau ini adalah Ayahanda Buya Hamka.
Inyiak Rasul masa itu, memimpin Diniyah School. Tempatnya di Surau Jembatan Besi. Masa itu namanya sudah menjadi Masjid Jembatan Besi.
Masjid itu ketika dipakai untuk belajar, diberi kain pembatas. Sisi sebelah kiri untuk laki-laki. Untuk perempuan di sebelah kanan.
Pada tahun 1916, Buya Hamka belajar di Diniyah School yang dipimpin ayahnya. Masa itu usia beliau 8 tahun.
Semasa diasuh Inyiak Rasul itu pula, pengajian surau, yang bernama Diniyah School itu, semakin maju. Pelajaran kitab kitab berbahasa Arab makin diminati murid murid.
Penuntut ilmu agama Islam, bertambah banyak datang ke Padang Panjang. Mereka berasal dari nagari nagari di Minangkabau dan juga dari luar daerah. Seperti Tapanuli Selatan, Aceh, Bengkulu dan Riau.
Istilah jembatan besi bermula, dari sebuah jembatan terbuat dari besi. Kira-kira 30 m, sebelah selatan surau ini, pada mulanya ada jembatan kayu yang beratap. Kemudian jembatan itu, diganti dengan jembatan terbuat dari besi. Tapi tidak diberi atap.
Dulu itu, di Mesjid Jembatan Besi, Buya Karim Amarullah dan ulama terkemuka lainnya, sering memberikan khotbah Jum'at. Jamaahnya hadir dari Padang Panjang dan Batipuh X Koto.
Kini Masjid Jembatan Besi, sudah ganti nama menjadi Masjid Zu'ama, yang artinya pemimpin. Sesuai dengan namanya, pada masa dahulu, para pemimpin organisasi perjuangan, sering berkhotbah di masjid ini. (***)
Komentar